TASAWUF DAN ALIRAN-ALIRANNYA
Zow
TASAWUF DAN ALIRAN-ALIRANNYA
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Tasawuf
Semester
Genap Tahun Akademik 2010/2011
Advisor:
Mr. Anwar Salafudin, MSI
Oleh:
Sholihun
Alfahmi Mz
FAKULTAS
TARBIAH
SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL (STIK)
2011
I. Muqodimah
Islam merupakan agama yang
menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya
melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam
praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek
eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang
memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang
dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal
tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan
jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan
pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap
berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas
yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan),
atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif
sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan
memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang
senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian
tasawuf merujuk pada dua hal: (1) penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan
(2) pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah.
Di
zaman para sahabat Nabi saw, kaum
Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan
hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali. Tiada
satu bagian pun yang
tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin;
urusan dunia maupun akhirat; masalah
pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah
yang ada hubungannya dengan
penggunaan akal, perkembangan jiwa dan
jasmani, mendapat perhatian pula. Timbulnya perubahan dan
adanya kesulitan dalam kehidupan baru
yang dihadapinya adalah akibat
pengaruh yang ditimbulkan dari dalam
dan luar. Dan juga adanya
bangsa-bangsa yang berbeda paham dan
alirannya dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar. Dalam
hal ini, terdapat orang-orang yang
perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada yang perhatiannya
dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau
hukum-hukumnya saja, yaitu ahli fiqih. Ada pula
orang-orang yang perhatiannya pada materi dan
foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya. Maka, pada
saat itu, timbullah orang-orang sufi yang
perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja,
terutama pada bagian peningkatan
dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan
keridhaan Allah dan
keselamatan dari kemurkaan-Nya.
"Semua
orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati surga.
Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku cinta kepada Allah
dan ingin ridhaNya." Kemudian pandangan mereka itu
berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan jiwa,
berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat;
dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud
(paham bersatunya hamba dengan Allah).
Penyusun,
II. Aliran aliran Tasawuf
a. Hulul dan Ittihad
Secara
terminologis sufistik, hulul diartikan tuhan mengambil tempat dalam diri
seseorang.
Paham ini dipelopori oleh seorang sufi yaitu Manshur Al Hallaj (w. 309 H). sedangkan
Al Ittihad secara terminologisnya yaitu persatuan si hamba dengan tuhan. Paham
ini di formulasikan oleh Al Bisthami (w. 260 H). dan Al makrifat yaitu
pengetahuan paham ini di cetuskan oleh Dzun Al nun al Misri (w. 244 H).
Dalam
tinjauan al-Hafiszh as-Suyuthi, keyakinan hulul,
ittihâd atau wahdah al-wujud secara hitoris
awal mulanya berasal dari kaum Nasrani. Mereka meyakini bahwa Tuhan menyatu
dengan nabi Isa, dalam pendapat mereka yang lain menyatu dengan nabi Isa dan
ibunya; Maryam sekaligus. Hulûl dan wahdah al-wujûd ini sama sekali bukan
berasal dari ajaran Islam. Bila kemudian ada beberapa orang yang mengaku sufi
meyakini dua akidah tersebut atau salah satunya, jelas ia seorang sufi
gadungan. Para ulama, baik ulama Salaf maupun
Khalaf dan kaum sufi sejati dan hingga sekarang telah sepakat dan terus
memerangi dua akidah tersebut.[1]
Pembahasan lebih luas tentang keyakinan kaum Nasrani dalam teori hulûl dan
Ittihad lihat as-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, h. 178-183).
Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa
seorang yang berkeyakinan hulul atau wahdah al-wujud jauh lebih buruk dari pada
keyakinan kaum Nasrani. Karena bila dalam keyakinan Nasrani Tuhan meyatu dengan
nabi Isa atau dengan Maryam sekaligus (yang mereka sebut dengan doktrin
trinitas), maka dalam keyakinan hulûl dan wahdah al-wujûd Tuhan menyatu
dengan manusia-manusia tertentu, atau menyatu dengan setiap komponen dari alam
ini.
Sebagaimana para kaum sufistik seperti Siti Rabi'ah
Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad Darani, mereka adalah
tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut: "Bahwa ketaatan
dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan keinginan akan surga
dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya,
supaya dekat dengan-Nya." Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah
berkata: "Semua
orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati surga.
Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku cinta kepada Allah
dan ingin ridhaNya."
Kemudian
pandangan mereka itu berubah, dari pendidikan
akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham baru
atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling menonjol ialah Al-Ghaulu
bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham bersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut oleh
Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga dihukum mati tahun 309 H.
karena ia berkata, "Saya adalah Tuhan."Paham Hulul berarti
Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani
terhadap Isa Al-Masih. Banyak
di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham
Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para
fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Filsafat ini sangat berbahaya,
karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab dan
beranggapan bahwa semua manusia sama, baik yang
jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk
menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah. Dalam
keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi
yang bermacam-macam, ada yang menilai masalah tasawuf
tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka
dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya,
menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran
tasawuf itu diambil dari agama Masehi, agama Budha, dan
lain-lainnya.
Demikian
pula dalam penilaian Imam al-Ghazali, jauh sebelum as-Suyuthi, beliau sudah
membahas secara gamblang kesesasatan dua akidah ini. Dalam pandangan beliau,
teori yang diyakini kaum Nasrani bahwa al-lâhût (Tuhan) menyatu dengan
al-nâsût (makhluk), yang kemudian diadopsi oleh faham hulûl dan ittihâd
adalah kesesatan dan kekufuran.[2]
Di antara karya al-Ghazali yang cukup komprehensif dalam penjelasan kesesatan faham
hulul dan ittihad adalah al-Munqidz Min adl-Dlalâl dan al-Maqshad al-Asnâ Fî
Syarh Asma’ Allah al-Husnâ. Dalam dua buku ini beliau telah menyerang habis
faham-faham kaum sufi gadungan. Termasuk juga dalam karya fenomenalnya, Ihyâ
‘Ulumiddîn. Meskipun Imam Al Ghozali menganggap sufisme sebagai jalan terbaik
menuju Allah, namun beliau tetap selektif terhadap berbagai aliran atau
konsepsi sufisme yang ada pada masanya. Alghozali Secra tegas menolak paham Al
Hulul dari Al hallaj dan Al Ittihad dari Al Bisthami dengan dalil dalil
rasional.[3]
Dengan demikian Al Ghozali memang seorang sufi
malah seorang sufi yang berhasil. Karenanya, benar pendapat Abd. Qadir Mahmud
yang menolak anggapan R.A. Nicholson seorang orientalis inggris yang
berpendapat bahwa Al Ghozali bukanlah seorang sufi. Nicholson memandang sufisme
hanya dari sudut mistikisme, sehingga yang dianggapnya sebagai sufisme hanyalah
yang mengandung unsure doktrin bersatunya hamba dengan tuhan, seperti dalam
aliran aliran hulul dan ttihat wahdatul wujud. Sufisme al Ghozali menolak
sufisme tersebut malah meneruskan dan mengembangkan sufisme sunni.[4]
Imam
al-Haramain dalam kitab al-Irsyad juga menjelaskan bahwa keyakinan ittihâd
berasal dari kaum Nasrani. Kaum Nasrani berpendapat bahwa ittihâd hanya terjadi
hanya pada nabi Isa, tidak pada nabi-nabi yang lain. Kemudian tentang teori
hulûl dan ittihad ini kaum Nasrani sendiri berbeda pendapat, sebagain dari
mereka menyatakan bahwa yang menyatu dengan tubuh nabi Isa adalah sifat-sifat
ketuhanan. Pendapat lainnya mengatakan bahwa dzat tuhan menyatu yaitu dengan
melebur pada tubuh nabi Isa laksana air yang bercampur dengan susu. Selain ini
ada pendapat-pendapat mereka lainnya. Semua pendapat mereka tersebut secara
garis besar memiliki pemahaman yang sama, yaitu pengertian kesatuan (hulul
dan ittihad). Dan semua faham-faham tersebut diyakini secara pasti
oleh para ulama Islam sebagai kesesatan.[5]
Mengutip dari Imam al-Haramain dalam al-Irsyad).
Dalam
tinjauan Imam al-Ghazali, dasar keyakinan hulûl dan ittihâd adalah sesuatu yang
tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hamba-Nya, dengan cara apapun adalah
sesuatu yang mustahil, baik kesatuan antara dzat dengan dzat, maupun kesatuan
antara dzat dengan sifat. Dalam pembahasan tentang sifat-sifat Allah,
al-Ghazali menyatakan memang ada beberapa nama pada hak Allah yang secara
lafazh juga dipergunakan pada makhluk. Namun hal ini hanya keserupaan dalam
lafazhnya saja, adapun secara makna jelas berbeda. Sifat al-Hayât (hidup),
misalkan, walaupun dinisbatkan kepada Allah dan juga kepada manusia, namun
makna masing-masing sifat tersebut berbeda. Sifat hayat pada hak Allah bukan
dengan ruh, tubuh, darah, daging, makanan, minuman dan lainnya. Sifat hayat
Allah tidak seperti sifat hayat pada manusia.
Imam
al-Ghazali menuliskan bahwa manusia diperintah untuk berusaha meningkatkan
sifat-sifat yang ada pada dirinya supaya mencapai kesempurnaan. Namun demikian
bukan berarti bila ia telah sempurna maka akan memiliki sifat-sifat seperti
sifat-sifat Allah. Hal ini sangat mustahil dengan melihat kepada beberapa
alasan berikut;
Pertama; Mustahil
sifat-sifat Allah yang Qadim (tidak
bermula) berpindah kepada dzat manusia yang hâdits (Baru),
sebagaimana halnya mustahil seorang hamba menjadi Tuhan karena perbedaan
sifat-sifat dia dengan Tuhan-nya.
Kedua; Sebagaimana
halnya bahwa sifat-sifat Allah mustahil berpindah kepada hamba-Nya, demikian
pula mustahil dzat Allah menyatu dengan dzat hamba-hamba-Nya. Dengan demikian
maka pengertian bahwa seorang manusia telah sampai pada sifat-sifat sempurna adalah
dalam pengertian kesempurnaan sifat-sifat manusia itu sendiri. Bukan dalam
pengertian bahwa manusia tersebut memiliki sifat-sifat Allah atau bahwa dzat
Allah menyatu dengan manusia tersebut (hulul dan ittihad) .
Dari pernyataan
para ulama sufi di atas tentang akidah hulûl dan wahdah al-wujûd dapat kita
tarik kesimpulan bahwa kedua akidah ini sama sekali bukan merupakan dasar
akidah kaum sufi.
b.
Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu; bersatunya
Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci.
Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang
menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang
telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari
pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud.
Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu; Kita dan semuanya adalah
bagian dari dzat Allah.
Wahdatul Wujud sebenarnya adalah suatu ilmu yang tidak
disebarluaskan ke orang awam. Sekalipun demikian, para wali-lah yang
mencetuskan hal tersebut. Karena sangat dikhawatirkan apabila ilmu wahdatul
wujud disebarluaskan akan menimbulkan fitnah dan orang awam akan salah
menerimanya. Wali yang mencetuskan tersebut contohnya adalah Al Hallaj dan Ibn
Arabi. Meskipun demikian, para wali tersebut tidak pernah mengatakan dirinya
adalah tuhan. Dan mereka tetap dikenal sebagai ulama alim.[6]
Syaikh Sa'id Fudah berkata: Adapun wusul
menurut golongan sufi yang berfahaman wahdatul-wujud adalah, penzahiran bahawa
wujud kita (seluruh makhluk) ialah 'ain wujud Allah swt Maka, iz suatu
penzahiran "ittihad" (penggabungan) wujud kita dengan wujud
Allah swt. Adapun
wusul menurut golongan sufi yang beraqidah ahlus-sunnah wal jamaah ialah: beri'tiqad
dengan kefaqiran makhluk kepada Allah swt, dalam masa yang sama mengekalkan wujud kita
berlainan dengan wujud Allah swt,
tiada ittihad dalam
ahlus-sunnah.
c. Perspektif Syaikh Ahmad Rifa’i tentang Tasawuf
Tasawuf merupakan ungkapan pengalaman keagamaan
yang bersifat subjectif dari seseorang dalam menanggapi Allah dengan
menititberatkan pada aspek pemikiran dan perasaan dalam arti lain, tasawuf juga
dapat diartikan sebagai usaha akal manusia untuk memahami realitas dan akan merasa senang
manakala dapat sampai pada Allah.[7]
Pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk memperthankan hubungan harmonis antara syari’at, toreqat dan haqiqat yang dirumuskan dengan istilah ilmu telu yaitu Ushul, fiqh dan tasawuf.[8] Untuk melihat pandangan tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i akan dilihat dengan tiga masalah pokok yaitu, keseimbangan antara syari’at, thorekot dan hakikat. Pembagian tasawuf bercorak amali dan falsafi.
Pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk memperthankan hubungan harmonis antara syari’at, toreqat dan haqiqat yang dirumuskan dengan istilah ilmu telu yaitu Ushul, fiqh dan tasawuf.[8] Untuk melihat pandangan tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i akan dilihat dengan tiga masalah pokok yaitu, keseimbangan antara syari’at, thorekot dan hakikat. Pembagian tasawuf bercorak amali dan falsafi.
Syaikh Ahmad
Rifa’i memandang bahwa seorang sufi selain mengamalkan tasawuf juga dituntut
untuk bisa menjalankan ilmu ushuludin dan fiqihnya. Maka dengan pengertian lain
bahwa seorang yang belajar ilmu tasawuf tidak melalui tahapan ilmu ushulidin
dan fiqihnya maka dianggap tidak sah ketaatanya, sebagaimana dinyatakan dalam
syairnya:
Syari’at
thoreqat hakikat becampur
Wong
ibadah maring Allah begja lan jujur
Wong
tinggal syari’at ora sah toat lebur
Wong
tinggal tareqat saking Allah mungkur
Tinggal
hakikat suwung sepi ganjaran
Terkadang
kufur iman makbul kerusakan[9].
Dari syair
diatas dapat kita ambil kesimpulanya, selain mengkritik ahli tasawuf yang
meninggalkan syari’at, juga mengkritik ahli fiqih yang meninggalkan tareqat dan
hakikat, menurutnya mereka orang orang yang membelakangi tuhan disatu pihak dan
dapat menjadi kufur hilang imanya dilain pihak. Junaid Al Baghdadi dan Al Ghozali
memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Menurut Al Junaidi,[10]
tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu,
barangsiapa yang membersihkan diridari segala sesuatu selain Allah maka ia
adalah sufi.[11] Sejalan dengan pandangan ini, al ghozali
mengatakan bahwa tasawuf adalah mengosongkan batin atau membersihkan diri dari
kotoran hawa nafsu dan amarah sehingga hati menjadi suci dan bersih.[12]
Pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i,
pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan untuk mempertahankan hubungan
harmonis antara syari’at, thoreqat dan hakikat yang dirumuskan dengan istilah
Ushul, fiqh dan tasawuf. Dengan pendekatan aksiologinya dalam rangka mencapai
kedekatan diri kepada yang Alhaq (Allah) yaitu ma’rifat dan taqarrub
yang dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa harus melalui aturan sebagaimana
lazim terjadi dalam dunia tareqat. Jika hendak ditelusuri berdasarkan apa yang
ditulis dalam beberapa karanganya, akan terlihat ia tidak pernah menyebut
dirinya baik secara langsung ataupun tidak sebagai penganut qadariyah. Lebih
lebih hamper dalam setiap karanganya ia selalu menyatakan dirinya sebagai
penganut tareqat ahlussuni seperti tersirat (ikilah kitab husnul matholib
saking Haji Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum Syafi’iyah Madzhabe ahlu sunni
tareqate).
Sebenarnya kalau dilihat dari segi
terminologisnya tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i bersifat praktis (amali) dan
teoritis (nadzari) dengan menyempurkan ketiga disiplin ilmu untuk
mendekatkatkan diri pada Allah (taqarrub) antara Ushuludin, fiqh dan
tasawuf. Dalam rangka mendeskripsikan ketiga diatas, Syaikh Ahmad Rifa’I
membagi disiplin ilmu menjadi dua hal. Yaitu, ilmu dhohir adalah ilmu fiqh dan
ilmu bathin yaitu ushuludin dan tasawuf. Fiqh dikatakan sebagai ilmu dhohir
sebagaimana dinyatakan dalam karanganya:
Maka mahesana sira ing dhohir kelakuan
Lan ing bathin nejo ing Allah pangeran
Kelawan saben ilmu dhohir kinawaruhan
Lan ilmu bathin ana syara’ panggeran.[13]
Pandangan Syaikh Ahmad Rifa’i mengenai
keterkaitan hubungan antara syari’at, thoreqat dan hakikat secara global
memiliki unsur persamaan dengan konsep tasawuf Junaidi Al Baghdadi dan Imam
Ghozali. Jika dilihat dalam kerangka pemikiran berdasarkan pengalaman para
sufi yang dikategorikan menjadi dua
diatas, yakni amali (akhlaqi) dan na’ari (falsafi), maka corak
pemikiran tasawuf Syaikh Ahmad Rifa’i termasuk dalam kategori Amali (akhlaqi)
atas dasar pertimbangan bahwa isi ajaran tasawuf beliau berupa latihan ruhani
dengan jalan: pertama, pengisian diri dengan sifat terpuji (tahalli),
kedua, pengosongan sifat tercela (takhalli) yang kemudian ditindak
lanjuti dengan kedekatan diri kepada Allah (taqarrub), ketiga,
pengenalan Allah dengan mata hati (ma’rifat).
Dengan
demikian dapat dikatakan klimaks dari tujuan tasawuf dalam pandangan Syaikh
Ahmad Rifa’i adalah tercapainya tiga kondisi diatas (khauf, mahabbah dan
makrifat). Hal ini dapat dijelaskan dalam karyanya sebagai berikut:
- Khauf
Secara
terminologis khauf dalam dunia tasawuf bersifat variatif sejalan dengan
pengalaman subjectife dari para sufi. Menurut Abu Ali addaqaq khauf itu terbagi
menjadi tiga tingkatan yaitu, khauf, khasyyah dan haibah. Khauf
adalah syarat keimanan khasyyah adalah syarat ilmu dan haibah adalah syarat
makrifat. Dalam mengetengahkan pandangan tentang Khauf ini sebagai salah satu
puncak amalan tasawuf bersama sama dengan mahabbah dan makrifat, Syaikh Ahmad
Rifa’i menyatakan dalam karanganya:
Derajat parek iku makrifat ning
manah
Cukule makrifat ngedohi penyegah
Kinarepaken dipurih parek ing
Allah luhur
Iku wajib wedi lan asih anut
milahur
Maring Allah taat saking haram
mungkur
Kuwasane netepi wajib tan mundur.[14]
- Mahabbah
Dalam masalah
Mahabbah Syaikh Ahmad Rifa’i banyak menggunakan istilah asih (cinta).
Selain itu mengenai hal ini terlihat lebih banyak tertuju kepada implikasi
sehari hari dibandingkan dengan pengertian eksklusif yang lumrah terjadi pada
para sufi sebagaimana pengalaman Jalaluddin Rumi, Robi’ah Al Adawiyah.
Seperti terlihat pada beberapa syairnya:
Utawi wong asih sebenere pangeran
Iku arep bektiyo wongiku
linakonan
Ing Allah anut perintahe
kewajiban
Ugo ngedohi saking gede maksiat
Naliko ngenani dosa nuli tobat.[15]
Penekanan pada
aspek pelaksanaan kewajiban dan menjauhi larangan sebagai indikasi cinta kepada
Allah. Lebih jauh dalam syairnya yang lain dituliskan:
Utawi wong asih ing Allah nyatane
Iku dadi nyawane iman keuripane
Ngalamate urip netepi wajib
lakune
Lan ngedohi saking haram
sekuasane
Iku tanda asih ing Allah ning
manah.[16]
Dalam pandangan
Syaikh Ahmad Rifa’I mengenai cinta kepada Allah terkait dengan ajaran islam
seperti iman sebagaimana terlihat dalam syairnya:
Mandeng ning atine sifate
pangeran
Jalal jamal wedi lan asih ning
kebatinan
Wajib khauf ing Allah cumeti
wikingan
Lan muhibbah narik ngarep
penuntunan.[17]
- Makrifat
Sebagaimana
bahwa makrifat merupakan puncak ajaran tasawuf dari Syaikh Ahmad Rifa’i setelah
melalui tiga tahapan yaitu, pengisian sifat terpuji, pengosongan sifat tercela
dan munculnya kondisi mental berupa takut (khauf dan cinta atau mahabbah).
Sebagaimana termaktub dalam syairnya:
Allah dzat wajib wujud nyata
kamalat
Dipandeng kelawan nur kehimmat
Kang sinelehaken ning telenge ati
kebatinan
Dadi hasil waspada ati tingalan
Ing barang penggawe saking Allah
kenyataan
Qudrat iradat ilmu hayat
kesifatan
Ikulah wong wes tumeko ing Allah
makrifat
Ningali ing kenugrahane Allah
laku taat.[18]
Syair diatas
memperlihatkan bahwa untuk sampai pada tingkatan makrifat maka diperlukan
penglihatan terhadapNya dengan menggunakan nur diletakan dalam relung hati (telenge
ati) yang merupakan pemberian Allah. Dengan demikian kondisi makrifat
merupakan pemberian Allah kepada orang orang tertentu sebagaimana diungkapkan
oleh Nicholson.
Direct knowledge of God based on
revelation and apocalyptic vision. It is not the result of any mental procces
but depends entirely on the will and favour of God, who bestow it as a gift
from himself upon those whom he has created with the capacity of receiving it.[19]
Artinya,
makrifat adalah pengetahuan langsung dari tuhan berdasarkan wahyu dan
pengkihatan yang langsung diberi ikan tuhan. Ia tdk berasal dari proses mental
tetapi merupakan anugrah kepada mereka yang memiliki kemampuan untuk
menerimanya.
III. Kesimpulan
Dari uraian singkat diatas dapat penulis
simpulkan, Perkataan sufi mempunyai takrifnya tersendiri dalam penggunaan kaum
sufi itu sendiri. Sufi adalah sesorang yang mengenal Allah, dengan pengenalan
yang mendekatkannya kepada Tuhannya, menjaga adab kehambaannya kepada Tuhannya
dengan mengamalkan syariat agama dan merealisasikan hakikat kehambaan (akhlak
islam) serta mengajak manusia kepada menuju jalan Tuhannya. Sufi adalah
golongan yang menumpukan aspek tarbiah kerohanian umat Islam dengan
menghimpunkan kaedah penyucian jiwa berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Ukuran seseorang sufi yang sebenar
adalah yang mengikuti sunnah Rasulullah, mengamalkan syariat dan kuat berpegang
dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Senada dengan apa yang telah di formulasikan
oleh Syaikh Ahmad Rifa’i dalam kitab karanganya. Imam Junaid Al-Baghdadi r.a.
berkata: "jalan kami berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah". Jadi,
Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah neraca terbaik dalam mengukur keahlian seseorang
dalam mengajak manusia kepada Allah. Manusia itu diikuti ilmu dan amalnya,
bukan semata-mata ilmunya. Inilah manhaj tarbiah yang diajarkan oleh Baginda
s.a.w., yang mana setiap gerak geri Baginda s.a.w. adalah qudwah (contoh)
yang tepuji. Akhlak Rasulullah itu sendiri bagaikan Al-Qur'an yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Bagi para mursyid yang kamil juga, mereka akan
mewarisi qudwah Rasulullah, bukan semata-mata ilmu tanpa amal. Islam itu
sendiri adalah ilmu dan amal.
Secara tegas Syaikh Ahmad Rifa’i
mendefinisikan bahwa seorang yang telah masuk pada tingkatan dekat (taqarub)
dengan Allah Rabbul I’zzati yaitu seseorang yang mendapatkan pengetahuan,
petunjuk, pertolongan dari Allah sehingga bias melihat lewat mata hatinya
dengan mengambil dalil alam sebagai tanda bukti ciptaaNya. Serta yakin bahwa
wajud yang hakiki adalah Allah yang Esa. Seperti tampak tersirat dalam sebuah
syairnya:
Maka tumekane kawula maring gusti Allah
Yaiku arep tumekaha syara’ gawe pernah
Karena pengeweruhe kelawan pitulunge Allah
Uga setemene Allah ta’ala paring pitedah
Amandeng kawula mata atine ing pangerane
Kang wus gugur tinemu tingal atine
Saking ngalap dalil sabab wus yakin atine
Ora duwe tingal ing wujud setemen temene
Anging Allah siji kang wujud hakikat
Muhal tumeka kawula ing Allah kelawan muhadzat
Tegese bebeneran ing anane dzat
Muhal Allah tinemu ing sewiji wiji lakune adat.[20]
Sama
sesatnya dengan orang-orang berkayakinan hulul atau wahdah al-wujud adalah
orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah bertempat di langit atau bertempat di
atas arsy, karena bila demikian maka berarti Dia berada pada makhluk-Nya
sendiri, Au'dzu Billah. Hindari dan waspadai keyakinan Wahhabi yang mengatakan
Allah bertempat di langit, pada saat yang sama mereka juga mengatakan di arsy, di
dua tempat heh.
Yang mengherankan: Mereka yakin bahwa arsy dan langit makhluk Allah, tapi
mereka mengatakan bahwa Allah bertempat pada keduanya, di mana akal mereka. Ingat,
Akidah Rasulullah, salaf saleh, dan mayoritas ummat Islam; kaum Ahlussunnah Wal
Jama'ah
IV.
Daftar Pustaka
Al Ghozali, Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad bin
Muhammad, Ihya’ Ulumuddin, Dar Al
Fikr, Bairut, 1980/1400, Juz I-XVI.
Syaikh Ahmad Rifa’i, Asnal Maqasid,
Wonosobo, PP. Mambaul Anwar, 2001, Juz I
Syaikh Ahmad Rifa’i, Syarkhul Iman,
Pekalongan, PP. Rifa’iyah, 2006, Juz I
Abdul Jamil, Perlawanan Kiyai Desa,
Yogyakarta, KKiS, 2001.
Abd. Hakim
Hasan, Attasawuf Asy’ir fil arabi, Maktabah anglo Masyriah, Cairo, 1954.
A. J.
Arbery, Muslim saint and Mystics, Routledge and kegan Paul, 1966.
Zurkani Jahja, Dr, Teologi Al Ghozali,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996.
[1]
As-Suyuthi, al-Hawi…,
Juz. 2, hlm. 130.
[3] Al Ghozali, Al Maqshad Al
Asna Syarkh Asma’ Allah Al Husna, (Mesir: Maktabah Al Jundi, 1970), hlm.
147.
[4]
Zurkani
Jahja, Dr, Teologi Al Ghozali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996), hlm. 213.
[5]
Opcit.,
[6]
Ensiklopedia,
[10] A. J. Arbery, Muslim saint
and Mystics, Routledge and kegan Paul, 1966, hlm.199.
[11] Ibrahim Basuni, Nasy’ah,
hlm. 22.
[12] Al Ghozali, Ihya ‘ulumudin,
Juz I (Libanon: bairut, 2004). Hlm. 123.
[13]
Syaikh Ahmad Rifa’i,
Asnal Maqasid (Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2001),korasan 21, hlm. 201.
[14]
Ibid, Ri’ayatal Himmah
(Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 2000), juz I, korasan 24, hlm. 91.
[15] Ibid, Abyanal Hawaij
(Wonosobo: PP Mambaul Anwar, 1999), juz VI, korasan 69, hlm. 301.
[16] Ibid.,
[17] Ibid.,
[18] Ibid,.
[19]
Nicholson, Mystic,……,
hlm. 71.
[20]
Syaikh Ahmad Rifa’i, Syarkhul
Iman (Pekalongan: PP. Rifa’iyah, 2007), Juz I, Korasan 21.
Komentar
Posting Komentar