FIKIH II MUNAKAHAT STIK KENDAL


FIKIH II MUNAKAHAT

MAHRAM DAN PEMBAGIANNYA

MAKALAH INI DI SUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

MATA KULIAH FIKIH II

 





DI SUSUN                     : 1. AHMAD SYAKUR    ( 1111445)
                                      2. ALI MUSTAJIB        ( 1111442 )

DOSEN PENGAMPU     : MASRURI, M.Pd.
ASISTEN DOSEN           : H. M. NURRUDIN, S.Ag.
PRODI                          : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL
TAHUN 2011


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan rahmat Taufiq serta hidayahnya kepada kita semua sehingga kita masih diberikan berkah iman, islam dan islam. Sholawat serta slam tetap tercurahkan kepada beginda agung pembawa kebenaran dan pencerahhan bagi umat di seluruh dunia Nabiyullah Muhammad SAW. Semoga kita mendapatkan syafaatnya hingga yaumul kiyamah Amin ya Robbal Alamin.
Berkenaan dengan pemberian tugas dan pemenuhan tugas untuk mata kuliah Fikih 2 yang membahas tentang hukum-hukum penikahan maka kami akan membahas salah satu perkara yang ada dalam permasalahan yang ada dalam perkara pernikahan.
Karena adanya perbandingan dan perbedaan dan luasnya hukum Allah maka dari itu kami akan mengupas sedikita tantang hukum-hukum islam yang terjadi dan masalah-masalah yang berkaitan dengan pernikahan.
Semoha apa yang kami utarakan ini bisa memberikan berkah dan manfaat bagi kita semua dan memberikan pengetahuan yang lebih untuk memilih dan memilah antara yang Khaq dan yang bathil karena sejatinya adanya perbedaan ini sebagai kuasa allah terhadap ilmu-ilmunya.

Kendal,  Maret 2012
Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN
1.             Latar Belakang
Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Agung. Shalawat serta salam tercurah kepada baginda Nabi Muhammad SAW, juga kepada para shahabat, pengikut dan orang-orang yang berada di jalannya hingga akhir zaman.
FIQIH NIKAH  ini hanyalah sebuah catatan kecil dari ilmu fiqih yang sedemikian luas. Para ulama pendahulu kita telah menuliskan ilmu ini dalam ribuan jilid kitab yang menjadi pusaka dan pustaka khazanah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang tidak pernah dimiliki oleh agama manapun yang pernah muncul di muka bumi.
Dalam ilmu fikih pernikahan terdapat beberapa bab-bab yang suplementik untuk dapat di uraikan dengan seksama dalam makalah ini penyusun akan menerangkan sedikit tentang suplenetik kahsanah keilmuan dalah fikih munakahat yaitu tentang hukum dan larangan nikah. Terdapat beberapa sub pokok bab yang harus di uraikan secara terperinci dan  mendalam mengenai permasalahan ini.
Untuk itu penulis hanya berharap pada audien untuk lebih mendalami dan memahami tentang hukum larangan pernikahan. Karena dalam bab ini sangat komplek dan relefan dalam lingkungan kita sehari-hari. Agar kita tidak salah memilih dan menentukan apa yang akan kita lakukan.
Sejatina hukum nikah ini adalah wenang atau boleh dikalukan bisa juga wajib, sunah, dan haram jika kita tidak tau asal muasal dari hukum tersebut. Untuk itu kodrat seorang manusia adalah belajar agar apa yang akan dilakukan dan di kerjakan ini mendapatkan berkah dan barokah dari Allah SWT.
Jika orang yang ingin melakukan ibadah   tidak tau ilmunya apalah jadinya ibadah yang dilakukannya, malah menjadi dosa. Untuk itu sedikit ilmu ini bisa bermanfaat dan pengetahuan bagi kita bisa menjadi modal kita untuk melangkah dan tawadhu'  beribadah kepada Allah SWT.


1.2         Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penyusun akan menerangkan dan menjelaskan tentang :
A.            Pengertian Mahram
B.            Wanita-wanita Yang Haram Dinikahi
C.            Mahram Muabbad Dan Muaqqat
D.           Mahram Nasab, Mahram Radla’ah Dan Mahram Mushoharah
1.3         Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1.      Sebagai tugas mata kuliah Fikih II
2.      Pengetahuan tentang sub bab ilmu fikih tentang pernikahan ( Munakahat)
3.      Menjelaskan tentang pengertian mahrah
4.      Menjelaskan tentang wanita-wanita yang haaram dinikah dari sudut pandang ilmu fikih dikarenakan Nasab, Radla'ah dan mahrak Mushoharah
1.4         Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah sebagai pengetahuan tentang larangan dan perintah untuk berhati-hati dalam mengambil dan memilih pasangan.  Hakikatnya pasangan kita atau orang yang kita nikahi itu masih ada hubungan darah atau semahram dengan kita.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1     Landasan Teoritis
A.      Pengertian Mahran  
Mahram adalah sebuah istilah yang berarti wanita yang haram dinikahi. Mahram berasal dari makna haram, yaitu wanita yang haram dinikahi. Sebenarnya antara keharaman menikahi seorang wanita dengan kaitannya bolehnya terlihat sebagian aurat ada hubungan langsung dan tidak langsung.
Hubungan langsung adalah bila hubungannya seperti akibat hubungan faktor famili atau keluarga. Hubungan tidak langsung adalah karena faktor diri wanita tersebut. Misalnya, seorang wanita yang sedang punya suami, hukumnya haram dinikahi orang lain. Juga seorang wanita yang masih dalam masa iddah talak dari suaminya. Atau wanita kafir non kitabiyah, yaitu wanita yang agamanya adalah agama penyembah berhala seperi majusi, Hindu, Buhda.
Hubungan mahram ini melahirkan beberapa konsekuensi, yaitu hubungan mahram yang bersifat permanen, antara lain :
1.             Kebolehan berkhalwat (berduaan) Kebolehan bepergiannya seorang wanita dalam safar lebih dari 3 hari asal ditemani mahramnya.
2.             Kebolehan melihat sebagian dari aurat wanita mahram, seperti kepala, rambut, tangan dan kaki.
B.      Mahram Dalam Surat An-Nisa
Allah SWT telah berfirman dalam surat An-Nisa :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا

Diharamkan atas kamu ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan ; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu ; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu , maka tidak berdosa kamu mengawininya; isteri-isteri anak kandungmu ; dan menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS. An-Nisa : 23)

Dari ayat ini dapat kita rinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah :
§    Ibu kandung
§    Anak-anakmu yang perempuan
§    Saudara-saudaramu yang perempuan,
§    Saudara-saudara bapakmu yang perempuan
§    Saudara-saudara ibumu yang perempuan
§    Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki
§    Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
§    Ibu-ibumu yang menyusui kamu
§    Saudara perempuan sepersusuan
§    Ibu-ibu isterimu
§    Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
§    Isteri-isteri anak kandungmu
1.      Pembagian Mahram Sesuai Klasifikasi Para Ulama
Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para ulama membaginya menjadi dua klasifikasi besar. Pertama  mahram yang bersifat abadi, yaitu keharaman yang tetap akan terus melekat selamanya antara laki-laki dan perempuan, apa pun yang terjadi antara keduanya. Kedua mahram yang bersifat sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan syariah yang terjadi.
2.      Mahram Yang Bersifat Abadi ( mahram Muabbad )
Para ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi tiga kelompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan perbesanan dan karena hubungan akibat persusuan.
2.1     Mahram Karena Nasab
§    Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
§    Anak wanita dan seteresnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
§    Saudara kandung wanita.
§    `Ammat / Bibi (saudara wanita ayah).
§    Khaalaat / Bibi (saudara wanita ibu).
§    Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki.
§    Banatul Ukht / anak wnaita dari saudara wanita.
2.2     Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan
§    Ibu dari istri (mertua wanita).
§    Anak wanita dari istri (anak tiri).
§    Istri dari anak laki-laki (menantu peremuan).
§    Istri dari ayah (ibu tiri).
2.3         Mahram Karena Penyusuan
§    Ibu yang menyusui.
§    Ibu dari wanita yang menyusui (nenek).
§    Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga).
§    Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).
§    Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.
§    Saudara wanita dari ibu yang menyusui.
B.            Radha' ( Penyusuan )
اِذَ اَرْضَعَتِ الْمَرْأَةَ بِاَبَنِهَا وَالَدًا صَارَالرَّضِيْعُ وَلَدَهَا بِشَرْطَيْنِ :اَحَدُهُمَا اَنْ يَكُوْنَ لًهُ دُوْنَ الْحَوْ لَيْنِ, وَالثَّانِيْ اَنْ تُرضِعَهُ خَمْسَ رَضَعَاتٍ مُتَفَرَّقَاتِنْ.
Apabila seseorang perempuan menyusui seorang anak ( bukan ananya sendiri ) dengan air susunya maka anak yang di susui itu menjadi anaknya. Dengan dua syarat: (1) anak itu pada saat menyusu belum berumur dua tahun[1], dan (2) perempuan yang menyusui anak itu lima kali susuan secara terpisah-pisah.

Kata Radha' ( Penyusuan ) bisa di baca ridha'. Bentuk fi"ilnya adalah radha'I – yardha'u atau radha'a – yardhi'u yang berarti menyusui. Menurut etimologi kata radha' adalah seseorang bayi yang di susui oleh seorang ibu dan bukan anaknya sendiri.
Dasar dari radha' adalah alquran, hadist, dan ijma' para ulama' yang mengharamkan pernikahan dengan seseorang yang di susui oleh saru orang ibu. Dalam al Quran terdapat dalam Alquran Surat An-Nisa' ayat 23 yang berbunyi. :
ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$#
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan[2].

Dan dari Aisah r.a. Bahwa Rosulullha bersabda :

يَحْرُمُ مِنَ الرَّ ضَا عَ مَا يَحْرُمُ مِنَالنَّسَبِ (رواه الشيخان)
Keluarga yang haram dinikai sebab nasab juga haram dinikai sebab penyusuan ( H.R. Bukhori Muslim) 

Penyusuan yang mengkibatkan haramnya untuk pernikahan ada beberapa rukun tertentu diantaranya dalah
1.        Perempuan yang menyusui
Perempuan yang menyusui ini juga ada 3 syarat
a.     Yang menyusui harus seorang perempuan,
b.    Pada saat menyusui perempuan itu dalam keadaan hidup
c.    Perempuan yang menyusui ada kemungkinan atau dimungkinkan bisa melahirkan.
Perkara : apabila terdapat seorang perempuan yang berumur 9 tahun menyusui maka penyusuannya mengakibatkan haramnya pernikahan, meski perempuan ini belum baligh, karena pada usia sembilan tahun memungkinkan seseorang menjadi baligh. Dan penyusuan itu penentu seperti nasab.
2.        Air Susu
Tetapnya keharaman pernikahan tidak  disyaratkan air susunya masih tetap seperti keadaan pada saat terpisah dari putting susu.
Kalau air susunya sudah berubah menjadi masam, atau mengental, berbuih, menjadi keju, atau membeku, atau seperti mentega, lalu di suapkan kedalam mulut anak kecil sebagai makanan, maka mengakibatkian haramnya pernikahan, karena air sususnya tersebut sudah masuk ke dalam tenggorokan dan rongga dan sudah dimakan oleh si bayi tersebut.

3.        Tempat
Dimana tempat ini adalah tempat untuk memasukan air susu yang menyusui. Sehingga susu itu masuk ke dalam tenggorokan dan perut yang disusui. Bukan melalui jaln yang lain tapi melaui mulut yag disusui.
Penyusuan yang menhakibatkan diharamkannya pernikahan itu disyarakna harus lima kali susuan. Ini adalah pendapat yang sahih dan telah di tentukan oleh imam syafi'i.
Ada pula yang berpendapat bahwa, satu kali saja susuan bisa mengakibatkan hubungan mahrom. Dan pendapat yang lain mengatakan bahwa tiga klai susuan yang dikemukakan oleh Ibnu Mundzir dan ulama-ulama lainnya.
Alasan yang lebih shahih adalah ucapan Aisah r.a beliau berpendapat bahwa :
كان فيما انزل الله تعالى من القران : عشر رضعات معلومات يحرمن, ثم نسحن بحمس معلومات, فتوفى رسول الله صلى الله وسلم وهن فيما يقرأ من القران.  
Artinya " di dalam Alqur'an yang diturunkan oleh Allah taala : ada sepuluh kali susuan menentuakan bisa mengakibatkan hubungan mahrohm. kemudian sepuluh kali susuan itu dinaskh dengan lima kali susuan yang ditentukan. Lalu rosulullah wafat. Sedangkan ketentuan sepuluh kali susuan itu termasuk ayat alqur'an yang dibaca.

3.             Mahram Yang Bersifat Sementara ( Mahrom Muaqqot )
Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu, laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
a.              Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya, maka boleh dinikahi.
b.             Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga dengan bibi dari istri.
c.              Wanita yang masih dalam masa Iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
d.             Istri yang telah ditalak tiga, untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
e.              Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnya selesai, maka boleh dinikahi.
f.              Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak.
g.             Menikahi wanita pezina. Dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya ulama membolehkannya.
h.             Menikahi istri yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
i.               Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk Islam atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.
Bentuk kemahraman yang ini semata-mata mengharamkan pernikahan saja, tapi tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan bepergian bersama. Yaitu mahram yang bersifat muaqqat atau sementara. Yang membolehkan semua itu hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.
C.      Hukum Menikahi Wanita Yang Pernah Berzina
ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ  
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mu`min. (QS. An-Nur : 3)

Lebih lanjut perbedaan pendapat itu adalah sbb :
1.      Pendapat Jumhur (mayoritas) ulama
Jumhurul Fuqaha mengatakan bahwa yang dipahami dari ayat tersebut bukanlah mengharamkan untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Bahkan mereka membolehkan menikahi wanita yang pezina sekalipun. Lalu bagaimana dengan lafaz ayat yang zahirnya mengharamkan itu ?
Para fuqaha memiliki tiga alasan dalam hal ini.
§    Dalam hal ini mereka mengatakan bahwa lafaz `hurrima` atau diharamkan di dalam ayat itu bukanlah pengharaman namun tanzih (dibenci).
§    Selain itu mereka beralasan bahwa kalaulah memang diharamkan, maka lebih kepada kasus yang khusus saat ayat itu diturunkan. Yaitu seorang yang bernama Mirtsad Al-ghanawi yang menikahi wanita pezina.
§    Mereka mengatakan bahwa ayat itu telah dibatalkan ketentuan hukumnya (dinasakh) dengan ayat lainnya yaitu :
  (#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tƒF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.ÏŠ$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3tƒ uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÌËÈ    
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur : 32)
Pendapat ini juga merupakan pendapat Abu Bakar As-Shiddiq ra dan Umar bin Al-Khattab ra dan fuqaha umumnya. Mereka membolehkan seseorang untuk menikahi wanita pezina. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah.
Pendapat mereka ini dikuatkan dengan hadits berikut :
Dari Aisyah ra berkata,`Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda,`Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal`. (HR. Tabarany dan Daruquthuny).

Juga dengan hadits berikut ini :
Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW,`Istriku ini seorang yang suka berzina`. Beliau menjawab,`Ceraikan dia`. `Tapi aku takut memberatkan diriku`. `Kalau begitu mut`ahilah dia`. (HR. Abu Daud dan An-Nasa`i)
عليه و سلم قال : لا توطأ امرأة حتى تضع أن النبي صلى الله
Nabi SAW bersabda,"Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan. (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).
·        يؤمن بالله واليوم الآخر أن يسقى ماءه زرع غيره لا يحل لامرئ مسلم
Nabi SAW bersabda,"Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain. (HR. Abu Daud dan Tirmizy).
Lebih detail tentang halalnya menikahi wanita yang pernah melakukan zina sebelumnya, simaklah pendapat para ulama berikut ini :


a.             Pendapat Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.
b.             Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. Demikian disebutkan di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab karya Al-Imam An-Nawawi, jus XVI halaman 253.
c.              Pendapat Imam Asy-Syafi'i
Adapun Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. Sebagaimana tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.
d.             Undang-undang Perkawinan RI
Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut :
1.             Seorang wanita hamil di luar nikah, dpat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2.             Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya.
3.             Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.


b.      Pendapat Yang Mengharamkan             
Meski demkikian, memang ada juga pendapat yang mengharamkan total untuk menikahi wanita yang pernah berzina. Paling tidak tercatat ada Aisyah ra, Ali bin Abi Thalib, Al-Barra` dan Ibnu Mas`ud. Mereka mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menzinai wanita maka dia diharamkan untuk menikahinya. Begitu juga seorang wanita yang pernah berzina dengan laki-laki lain, maka dia diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki yang baik (bu kan pezina).
Bahkan Ali bin abi Thalib mengatakan bahwa bila seorang istri berzina, maka wajiblah pasangan itu diceraikan. Begitu juga bila yang berzina adalah pihak suami. Tentu saja dalil mereka adalah zahir ayat yang kami sebutkan di atas (aN-Nur : 3).
Selain itu mereka juga berdalil dengan hadits dayyuts, yaitu orang yang tidak punya rasa cemburu bila istrinya serong dan tetap menjadikannya sebagai istri.
Dari Ammar bin Yasir bahwa Rasulullah SAW bersbda,`Tidak akan masuk surga suami yang dayyuts`. (HR. Abu Daud)
2.             Pendapat Pertengahan
Sedangkan pendapat yang pertengahan adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau mengharamkan seseorang menikah dengan wanita yang masih suka berzina dan belum bertaubat. Kalaupun mereka menikah, maka nikahnya tidak syah.
Namun bila wanita itu sudah berhenti dari dosanya dan bertaubat, maka tidak ada larangan untuk menikahinya. Dan bila mereka menikah, maka nikahnya syah secara syar`i.



BAB II
KESIMPULAN
3.1         Simpulan
Dari uraian diatas maka penyusun dapat menyimpulkan bahwa wanit-wanita yang haram di nikah itu ada beberapa macam dan masalah yang diantaranya adalah mahrah karena nasab, Mahram Radha' dan mahram mushaharah. Masalah seperti inilah yang harus kita cermati dan kita amati secara benar karena masih banyak lagi mahram-maharam yang berhalangan untuk kita nikahi.
3.2         Saran 
Makalah ini masih banyak kekurangan dan perlu adanya perbaikan dan pengkajian secara khusus dari pembaca. Karena hakikatnya manusia di ciptakan untuk lebih banyak belajar dan menggali lagi kemampuan dan kepandaiaanya untuk mengungkaspkan begitu banyaknya hukum Allah. Yang tersimpan di alam semesta.
Dari makalah inilah kami penyusun memberikan saran untuk lebih hati-hati dalam menentukan pilihan, karena sejatina pernikahan adalah suatu ibadah yang dimulyakan Allah, pernikahan ini bisa jadi sebagai jembatan untuk mendapatkan anugrah dan perjalanan panjang menjuju kehidupan yang mawaddah dan mahabbah karena Allah.           













Daftra Pustaka
Zaidun, Achmad, dkk. 2011. Terjemahan Kifayatul Akhyar Jilid II. Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Sarwat, Lc, H. Ahmad. 2009. Fikih Nikah. Jakarta: Kampus Syariah
A.  Manan, Drs.Imron, dkk. 2011. Tafsir Ayat Ahkam Jilid II. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Rifa'I, Syaikh Ahmad. Tabiyanal Ishlah.
 




















                                                                                     




[1] .hitungan Komariyah
[2] . Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.

Komentar

Postingan Populer